Senin, 15 April 2013

HIGH SCHOOL LOVE STORIES 3 : ADDICTED TO LOVE #12 END


Rafhael segera tancap gas. Untungnya ia bisa menemukan Chika tengah berjalan menuju halte. Rafhael menghentikan motornya dengan tiba-tiba tak jauh di belakang Chika dan mengejar cewek itu. Rafhael berhasil menarik lengan Chika hingga cewek itu berhenti.
            “Mau ke mana lo?! Urusan kita belum selesai!!” kata Rafhael marah.
            Chika berbalik dengan kaget, lupa kalau masih menangis. Seketika Rafhael langsung pucat pasi dan melepaskan cengkeramannya. Sebagai gantinya ia menangkup kedua belah pipi Chika dengan kedua tangannya.
            “Kenapa? Ada yang sakit? Kenapa lo nangis???” tanyanya panik. Kemarahannya lenyap seketika karena itu pertama kalinya ia melihat Chika menangis.
            Chika tampak bingung. Ia menatap Rafhael dengan aneh. “Ke... kenapa elo di sini?” tanyanya sesenggukan.
            “Ya, gue ngejar elo,” kata Rafhael bingung
            “Tapi… kenapa lo ngejar gue?” tanya Chika lagi.
            “Ya... gue ngejar elo karena... karena elo pergi!” sahut Rafhael kehabisan jawaban. Seketika ia melupakan apa tujuannya mengejar Chika.
            Chika mendengus. “Nggak masuk akal! gue udah gede, gue bisa pulang sendiri!” ketusnya sambil menghapus air matanya. “Kenapa lo nggak balik aja ke tempat Karen dan selesaikan apapun urusan kalian? Lo kan nggak punya kewajiban buat nganterin gue pulang,” kata Chika sambil melanjutkan perjalanannya ke halte yang tinggal beberapa puluh meter lagi.
            Belum ada selangkah Chika bergerak, kembali tangannya ditarik oleh Rafhael. Chika menepiskan tangan Rafhael dan melangkah lagi. Tapi kembali dihalangi oleh Rafhael.
            “Mau lo apa sih?” tanya Chika lelah. “Gue mau pulang, Rafha,” katanya lagi. “Lo yang bilang supaya gue nggak ikut campur urusan elo. Lo juga kan yang nyuruh gue menjauh. Sekarang ijinin gue pergi…”
            “Gue nggak ngijinin lo pergi!” kata Rafhael dengan arogannya.
            “Kenapa? Lo kan udah punya Karen... Dia cantik, baik, humoris,” kata Chika.
            “Tapi dia nggak telmi dan lemot! Dia nggak bikin gue terlibat dalam banyak hal-hal konyol. Dan yang terpenting dia bukan elo,” kata Rafhael.
            “Kenapa?” tanya Chika lagi.
            Rafhael terdiam. Dia memejamkan matanya sejenak untuk mengumpulkan semua emosi dan juga pikirannya. Dia tak diberi banyak waktu buat berpikir. Jadi Rafhael tidak mau mengacaukan semua yang ia pikirkan masak-masak dan yang akan dia katakan pada Chika. Kemudian Rafhael membuka mata dan menatap Chika.
            “Karena gue sayang, cinta, dan nggak mau kehilangan elo,” kata Rafhael.
            Chika kehilangan kata-kata. Meski Karen menyuruhnya untuk bersikap pasrah dan pura-pura jual mahal agar Rafhael mengakui perasaannya, tapi mendengar nada sungguh-sungguh dalam suara Rafhael, Chika langsung luluh. Seketika dia langsung menangis lagi.
            “Eehhh, apa gue salah ngomong? Kok lo malah nangis sih?? Lo nggak suka kalau gue ngomong gitu??” tanya Rafhael panik. Ia biasa menghadapi cewek yang berteriak bahagia, marah-marah, bahkan ngambek, tapi ia paling tidak bisa jika menghadapi cewek yang menangis!!
            Chika menggeleng-gelengkan kepalanya tapi tetap terisak-isak.
            “Terus kenapa?? Kok lo malah nangis?? Gue kan nyatain cinta sama elo,” kata Rafhael. Ia bingung harus bagaimana. Pada akhirnya dia hanya memeluk Chika dan membiarkan Chika menangis.
            “Aduh, Chi, lo jangan nagis donk... Gue jadi merasa jadi orang yang brengsek nih... Gue tau gue banyak salah. Gue udah ngomong kasar sama elo. Gue udah sering nyakitin elo baik sengaja atau nggak sengaja. Gue… gue minta maaf… Gue harap lo mau maafin gue...” kata Rafhael sambil mengusap-usap punggung Chika.
            “Gue… gue juga sayang sama elo,” isak Chika lirih.
            “Hah??” sahut Rafhael takut salah dengar
            Chika mendongak dan menatap Rafhael. “Gue juga sayang sama elo... Tapi gue nggak tau sejak kapan,” kata Chika.
            “Gue pikir sejak awal,” kata Rafhael. “Anak-anak pada bilang gitu,” tambahnya.
            “Chika nggak tau. Tapi pas lo nyuruh gue menjauh, gue sedih banget sampai gue ngerasa sesak. Gue nggak tau kenapa lo marah. Apa waktu itu gue ada salah sama elo?” tanya Chika dengan amat sangat polos. Membuat Rafhael bingung antara ingin mencekiknya atau malah menciumnya. Tapi akhirnya tak ada yang ia lakukan selain menatap Chika. Chika tidak menggodanya, cewek itu benar-benar ingin tau. Rafhael pun memeluknya dan menopang dagunya di atas kepala Chika.
            “Lo nggak salah apa-apa. Semua salah gue yang terlalu bingung sama perasaan gue. Sorry, Chi, gue udah bikin lo sakit hati,” kata Rafhael pelan.
            Chika menggeleng-geleng. “Elo nggak salah. Lo kan lagi bingung. Tapi…” kata Chika.
            Rafhael menarik diri dan menatap Chika. “Tapi apa?”
            “Apa sekarang lo udah nggak bingung lagi?”
            Rafhael terdiam sejenak, kemudian tersenyum. “Gue rasa gue udah nggak bingung.”
            “Lo rasa?” tanya Chika.
            “Gue yakin gue udah nggak bingung lagi,” ralat Rafhael.    
            Chika balas tersenyum dan kembali menyurukkan wajah di dada Rafhael. Rafhael menikmati saat-saat tenang itu. Akhirnya ada juga hal benar yang ia lakukan. Dulu dia membiarkan Karen pergi. Tapi sekarang, ia takkan membiarkan Chika pergi. Ia sudah memutuskannya.
            “Rafha, lo belum mandi ya?” tanya Chika sambil menarik diri dan mngernyit.
            Rafhael bengong sesaat dan mendengus. Astaga, haruskah Chika merusak moment indah mereka secepat itu?
            “Seharian kan gue nyariin elo, Chi,” kata Rafhael gemas. Ia menangkup kedua pipi Chika dan menatap Chika dalam-dalam. Kemudian dengan perlahan ia menundukkan wajahnya. Tinggal beberapa senti lagi hingga ia bisa merasakan bibir Chika sebelum tangan Chika mendorongnya. Ia hendak memprotes ketika tak ada sedetik kemudian Chika bersin-bersin hebat.
            “Astaga, lo kena flu ya??” tanya Rafhael terperangah. Terlalu bingung mencari komentar lain.
            Tapi Chika cuma bersin dan bersin lagi. Rafhael menghela napas. Apa boleh buat deh. Memang belum nasibnya. Rafhael melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Chika.
            “Ya udah, pulang yuk,” ajak Rafhael.
            Chika mengangguk dan bersin lagi. “He’eh... Hattciihmm... Ayo, pulang... Chika mau... hat... hattchimm... tidur...” kata Chika di sela-sela bersinnya.
            Rafhael memutar bola matanya dan menuntun Chika ke motornya. Ia membantu Chika naik, kemudian terdiam sejenak untuk memperhatikan Chika. Hidung Chika memerah karena bersin-bersin tadi. Matanya juga agak sembab karena menangis. Tapi di mata Rafhael, Chika tetaplah Chika. Cewek yang membuatnya jatuh hati tanpa ia sadari. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya dan mengecup kening Chika.
            “Moga cepat sembuh, ya, Sweetheart,” kata Rafhael lembut. Chika langsung tersipu-sipu. Rafhael kemudian mengantar Chika pulang.
                                                                        ***
            Karen tengah menyesap secangkir teh hangat ketika ponselnya yang ia letakkan di atas meja berdering. Ia mengangkatnya dengan santai.
            “Ya, Karen si Cupid di sini,” kata Karen.
            Terdengar suara dengusan geli. “Gue bukan mau dengar lelucon lo. Gimana?” tanya Jeremy.
            Karen menyeruput tehnya pelan sebelum menjawab. “Semua beres. Tinggal Rafhael aja yang harus menyelesaikannya.”
            “Yah, berarti gue nggak sia-sia nonjok dia,” kata Jeremy.
            “Oh, jangan mulai memuji diri sendiri deh,” kata Karen. “Yang penting semua bahagia kan,” katanya kemudian.
            “Ya,” sahut Jeremy.
            Setelah meletakkan ponselnya ke atas meja, Karen menatap langit malam yang sangat indah. Bulan bersinar indah dan dikelilingi oleh banyak taburan bintang. Bersyukur bisa menikmatinya dan berdoa semoga semua berjalan semestinya. Setiap orang berhak merasa bahagia.
                                                                        ***
            Cinta bisa datang dan pergi sesuka hatinya. Tapi jangan sekali-sekali membiarkannya menunggu terlalu lama. Kejarlah ia bila kau yakin dia memang untukmu karena ia takkan mau menunggu lebih lama lagi...


~ SELESAI ~

HIGH SCHOOL LOVE STORIES 3 : ADDICTED TO LOVE #11


Rafhael sudah mendatangi rumah Karen untuk mencari cewek itu, tapi Karen belum pulang. Dengan kesal ia pergi ke rumah Jeremy. Itu adalah interaksi pertamanya dengan Jeremy setelah pertengkaran mereka. Rafhael mengetuk pintu dengan kepalan tangannya. Menunggu dengan tidak sabar. Ia belum pernah kelimpungan seperti ini. Bahkan ia belum pulang sejak tadi siang!! Tampilannya pasti sangat kacau karena ketika Jeremy membuka pintu, cowok itu menatapnya dengan aneh.
            “Gue nggak punya waktu buat kritikan lo,” kata Rafhael cepat. “Gue mau tanya ke mana Karen pergi bersama Chika,” katanya.
            Jeremy menaikan alisnya. “Gue nggak mengerti yang lo omongin,” kata Jeremy datar.
            “Sialan! Gue tau ini ulah kalian! Apa susahnya lo ngasih tau gue?!” sungut Rafhael.
            Jeremy bersedekap dan bersandar di ambang pintu. “Kalaupun gue tau, buat apa gue ngasih tau elo? Bukannya lo bilang nggak punya hubungan apa-apa sama Chika?”
            Rafhael menahan keinginannya untuk menghajar Jeremy. Sebagai gantinya dia cuma mendesis. “Bukan urusan lo! Ini antara gue dan Chika!”
            “Hmm, jadi lo berubah pikiran?” kata Jeremy.
            “Brengsek lo! Kalau lo memang nggak mau kasih tau gue, oke, fine!! Gue pergi cari sendiri!” bentak Rafhael dan berbalik menuju motornya.
            “Mereka mungkin udah pulang!” teriak Jeremy ketika Rafhael sudah naik ke motornya dan siap tancap gas pergi. “Lo bisa cari ke rumah Karen.”
            Rafhael bahkan tidak berbalik atau mengucapkan terima kasih. Ia langsung menghidupkan motornya dan melaju pergi.
            Jeremy geleng-geleng kepala dan menutup pintu.
            “Siapa, Jer?” tanya Mama yang sedang mempersiapkan meja makan
            “Rafhael, Ma,” kata Jeremy.
            “Dia kenapa??” tanya Mama penasaran. Bagaimana pun mama Jeremy sudah menganggap Rafhael seperti putranya sendiri.
            “Masalah cinta,” sahut Jeremy dan menyeringai.
            Mama berdecak. “Kalian para cowok memang selalu bermasalah sama cinta ya?” komentar Mama sambil menggeleng-geleng.
            Jeremy tak menyangkalnya. Karena buat apa menyangkal? Toh, ia juga pernah mengalaminya.
                                                                        ***
            “Kok kita ke rumah lo?” tanya Chika bingung.
          “Lo makan dulu di sini! Nanti gue antar lo pulang. Rumah gue lagi sepi nih, gue nggak suka makan sendirian,” kata Karen.
            Chika percaya saja sehingga dia mengikuti Karen. Chika baru saja hendak menapakkan kaki di anak tangga menuju ke teras rumah ketika terdengar suara ban berdecit di depan rumah. Chika berhenti, tapi Karen terus melanjutkan membuka pintu. Tidak tampak terpengaruh sama sekali. Seolah-olah sudah menduganya.
            Chika bergantian menatap Karen dan jalanan. Lalu Rafhael muncul dengan penampilan kusut dan acak-acakan. Chika bahkan sampai menganga saking takjubnya. Terlebih cowok itu tampak jengkel luar biasa. Lalu Chika ingat untuk bertanya-tanya. Kenapa Rafhael datang ke sana?
            Chika terus memandang tak percaya ke arah Rafhael. Rafhael tampak kacau, bajunya kusut masai, rambutnya yang sedikit panjang acak-acakan. Dan jelas cowok itu belum pulang ke rumah. Tatapannya tampak garang, tapi itu ditujukan kepada Karen. Dan ketika Rafhael melangkah cepat ke arahnya, Chika langsung beringsut. Tapi Rafhael melewatinya dan langsung menuju ke arah Karen. Rafhael bahkan tak melirik ke arahnya sama sekali!
            “Lo tuh mau apa sih?!” bentak Rafhael langsung pada Karen. Tapi Karen tampak tak terpengaruh. Ia dengan berani membalas tatapan Rafhael.
            “Lho, nggak salah nih, lo nanya kemauan gue?” balas Karen.
            “Ren, lo bisa kena tuntutan penculikan!! Lo ngapain sih pakai acara bawa kabur nih cewek!!?”
            Chika tersentak pelan dan mundur selangkah. Sementara Karen justru meralat ucapan Rafhael.
            “Namanya Chika, bukan Nih Cewek!” kata Karen.
            Rafhael mengertakkan giginya. “Gue tau! Tapi bukan itu yang lagi kita bicarain!!” geramnya.
          “Ohh, terus apa? Chika aja nggak keberatan pergi sama gue. Kok malah lo yang sewot? Apa yang lo takutin?” balas Karen.
            Rafhael memandang tajam pada Karen. Ia muak bicara berputar-putar seperti itu. “Lebih baik lo kasih gue alasan kenapa lo melakukan hal ini! Gue sama sekali nggak pingin main-main, Ren!”
            Karen berkacak pinggang. “Gue juga nggak main-main! Lo pikir apa alasan gue buat bawa Chika kabur?? Gue mau menyadarkan elo kalau elo itu terlalu lambat dalam bertindak!!” balas Karen sengit. “Dan sekarang apa lo udah sadar?! Apa lo panik waktu lo nggak tau ke mana Chika gue bawa?!”
            Chika terus-terusan mundur ketika acara saling bentak antara Karen dan Rafhael makin memanas. Pada akhirnya, ketika sampai di gerbang, Chika langsung berbalik pergi. Ia tidak mau melihat pertengkaran Karen dan Rafhael yang begitu akrab. Chika merasa sedih karena Rafhael bahkan tidak meliriknya. Rafhael datang karena khawatir Karen akan terlibat masalah. Jadi tak ada gunanya ia berada di sana lebih lama.
            Sementara itu, Rafhael sama sekali tidak sadar bahwa Chika sudah lenyap dan terus saja menuntut penjelasan pada Karen.
            “Ayo jawab?! Siapa yang lo cariin??” tantang Karen.
            “Iya! Gue nyari Chika!! Gue mau nyelesaiin urusan gue sama dia!! Puas lo?!” seru Rafhael emosi.
            Karen tersenyum. “Bagus. Kalau lo ngaku dari awal tentang perasaan lo, kan gue jadi nggak perlu pakai cara ribet begini!” sahutnya. “Tapi ngomong-ngomong, lo telat,” kata Karen lagi.
            “Telat apaan???” sahut Rafhael nyaris melengking saking jengkelnya.
            Karen menunjuk ke balik bahu Rafhael. “Chika udah pergi,” katanya tanpa rasa bersalah.
            “Hah?!?” seru Rafhael dan langsung menoleh ke belakang. Ia mengumpat-ngumpat sambil berlari ke motornya. Ia memakai helmnya. “Ke arah mana?!” teriaknya pada Karen.
            “Kanan!” balas Karen dan tertawa melihat Rafahel kelimpungan season dua.

HIGH SCHOOL LOVE STORIES 3 : ADDICTED TO LOVE #10


Begitu bel berbunyi siang itu, semua pintu kelas menjeblak terbuka. Rombongan anak-anak yang begitu riuh membicarakan apa yang akan mereka lakukan begitu pulang sekolah segera memenuhi koridor. Lautan murid-murid yang sudah tidak sabar ingin pulang ke pelukan guling tercinta, merayap di koridor dan menyebar ke segala penjuru sambil berceloteh ria.
            Begitu juga dengan Chika. Ia ingin cepat-cepat pulang supaya bisa istirahat. Ia merasa kurang enak badan, ditambah bersin-bersin setiap beberapa menit sekali, membuatnya tidak nyaman. Ia menyalahkan dirinya karena bisa-bisanya ketiduran di balkon kamarnya tadi malam. Kalau tidak dibangunkan Mama, mungkin bisa sampai pagi dia tidur di sana. Dan bukannya sekolah, malah terbaring di tempat tidur karena masuk angin!
            Karena itulah dia bergegas. Ia nggak mau ada yang menghalangi jalannya untuk pulang dan tidur! Karena sudah kebiasaan Chika jika kena flu, mulutnya bakal meracau nggak jelas. Alias lebih bawel dari biasanya!
            Chika baru saja menuju halte di dekat sekolahnya ketika sebuah mobil Jazz berhenti di sampingnya. Chika pun seketika berhenti ketika mendengar namanya dipanggil.
            “Elo Chika ya??” tanya seorang cewek cantik dari dalam mobil.
            Chika harus menunduk agar bisa melihat siapa yang bicara dengannya. “I... iya sih,”kata Chika. “Ada perlu apa ya sama gue?” tanya Chika.
            Cewek itu tersenyum. “Gue mau bicara sama lo. Jalan sama gue yuk! Ehh, gue bukan orang jahat!” kata Cewek itu cepat-cepat ketika Chika bergerak mundur. Cewek itu keluar dari mobilnya dan memutari kap depan mobil untuk sampai di samping Chika. “Gue orang baik-baik kok. Lo bisa percaya sama gue. Gue nih temannya Jeremy. Makanya lo ikut gue yuk!” kata cewek itu.
            “Eng… tapi gue harus pulang. Gue lagi nggak enak badan,” kata Chika.
            “Duh, dia nongol,” gerutu cewek itu tanpa memperhatikan penolakan Chika dan langsung menarik tangan Chika. Ia membuka pintu dan mendorong Chika masuk. “Sorry ya, harus kayak penculikan gini!!” kata cewek itu dan berlari ke sisi pengemudi ketika melihat Rafhael muncul dari gerbang. Cowok itu pasti mengenali mobilnya. Jadi ia segera masuk ke mobil dan tancap gas!
            Kepada Chika yang tampak kaget, ia meringis seraya minta maaf. “Sorry, lo pasti kaget ya? Gue terpaksa, kalau nggak gini, tuh anak nggak bakal nyadar,” kata Cewek itu.
            “Siapa yang lo bicarain?” tanya Chika. “Dan... lo ini siapa?” tanyanya lagi.
            Cewek itu tersenyum sambil melepas kacamata hitamnya. Sembari menyetir, ia mengulurkan tangan kanannya. Sesekali melihat ke jalan. “Gue Karen,” katanya.
            Dan Chika cuma bisa ternganga.
                                                                        ***
            Rafhael baru saja menuju parkiran dengan kepala berdenyut sakit. Ia tengah berpikir ketika Samuel menghampirinya dan menepuk bahunya. Rafhael cuma melirik sekilas dan kembali melanjutkan perjalanannya.
            “Lo baik-baik aja? Karen apa kabar?” tanya Samuel.
            “Baik,” sahut Rafhael singkat.
            “Gue mau sedikit ikut campur, boleh nggak?” tanya Samuel. Ketika Rafhael meliriknya dengan jengkel, ia angkat bahu dan menambahkan. “Mending gue bilang dari awal kan?”
            “Terserah lo deh!” sahut Rafahel sambil mendesah frustasi. Tadi jam istirahat, saat ia sedang menikmati kesendiriannya di kelas, ia dihampiri dua orang malaikat maut. Yang langsung menodongnya dengan berbagai tuduhan dan menyalahkannya atas semua hal yang bisa mereka timpakan padanya. Rafhael sendiri bertanya-tanya kapan giliran Samuel. Ternyata jawabannya sudah di depan mata.
            “Lo sama Chika sebenarnya gimana sih? Gue lihat lo suka marah-marah sama dia, terus tiba-tiba dekat, terus dalam sekejap menjauh lagi. Mau lo apa sih?” tanya Samuel terdengar benar-benar bingung. Ia tidak menyalahkan Rafhael, tapi ia benar-benar penasaran.
            “Harusnya kalian nanya tuh jangan sendiri-sendiri. Kumpul dulu baru temui gue,” gerutu Rafhael. Tidak Jeremy, Karen, Linzie, bahkan Keisha, sekarang Samuel, semua memiliki inti pertanyaan yang sama.
            “Maksud lo? Udah ada yang nanya hal itu?” tanya Samuel.
            Rafhael mendengus. “Kalian semua nanya hal yang sama,” gerutunya. “Kenapa sih kalian nggak ngebiarin gue sendirian biar gue bisa berpikir jernih barang sedetik dua detik?”
            Samuel menyeringai. “Itu karena kita semua peduli sama lo, Man,” kata Samuel sambil menepuk-nepuk bahu Rafhael.
            “Peduli sama gue atau peduli sama pemikiran pacar kalian?” tanyanya sinis.
            “Hey, jangan sangkut pautin Zizi gue donk,” protes Samuel. “Dia tuh peduli sama Chika! Sama kayak gue yang peduli sama elo!”
            Rafhael tak menyahut, ia cuma mencibirkan bibirnya. Samuel kembali bertanya bagaimana perasaan Rafhael pada Chika. Apakah Rafhael cuma mempermainkan Chika? Atau sebenarnya menyayangi Chika tapi tidak mau mengakuinya?
            Rafhael bahkan tak memerhatikan kata-kata Samuel. Ia punya hal lain yang harus dia pikirkan selain ceramah ‘niat baik’ teman-temannya.
            “Ehh, yang berdiri di pinggir jalan itu Chika bukan?” kata Samuel tiba-tiba.
            Rafhael langsung melihat ke arah yang ditunjuk Samuel. Ia memicingkan matanya. Kenapa orang yang berbicara dengan Chika terasa begitu familier ya?
            “Ehh, dia sama siapa tuh? Eh, eh, dipaksa masuk mobil!!” seru Samuel lagi.
            Rafhael langsung mengalihkan tatapannya kepada mobil yang disebutkan Samuel. Jazz hitam yang tidak asing di matanya.
            “Sialan!” umpat Rafhael dan langsung berlari ke tempat mobil itu terparkir.
            Samuel menyusul sambil bertanya ada apa, tapi Rafhael mengabaikannya.Tepat ketika Rafhael berpikir bisa mencapai mobil itu, mobil jazz itu langsung melaju pergi. Rafhael berhenti dan membanting tasnya dengan kesal. Mau apa cewek itu membawa Chika? Sial, harusnya ia bisa menebak apa yang ada dipikiran Karen saat mereka bicara tempo hari.
            “Siapa yang ngebawa Chika??” tanya Samuel ngos-ngosan. Ia membungkuk sembari memegangi perutnya.
            “Cewek tengik!” sahut Rafhael dan langsung bergegas menuju lapangan parkir.
            Samuel yang masih membungkuk, menyeringai. Sayangnya Rafhael terlalu terfokus pada ‘penculikan’ Chika sehingga tidak menyadari seringaian penuh konspirasi dari Samuel.
            Sementara itu di tempat lain, Chika duduk tegang di sebelah Karen. Kedua tangannya di atas pangkuannya dan ia terus-terusan meremas tangannya karena gelisah. Sejak berkenalan dengan Karen tadi, Chika terus-terusan merasa tidak nyaman. Ia tidak tau kenapa Karen mau bicara dengannya? Apakah berhubungan dengan Rafhael? Apakah Karen tidak suka jika Chika berdekatan dengan Rafhael?
            Akan tetapi, dilihat dari gelagatnya, Karen tidak tampak marah atau menunjukkan aura permusuhan. Dia malah berusaha agar Chika merasa rileks setelah aksi ‘penculikannya’ tadi.
            Ditambah lagi Karen tampaknya menikmati aksinya. Dia bahkan bernyanyi-nyanyi kecil. Tapi itu semua tidak bisa mengurangi kegugupan Chika. Dan ia juga mulai bersin-bersin lagi.
            “Gue nggak menyangka Rafhael bisa dekat sama cewek semanis elo,” kata Karen sambil tersenyum manis.
            Sayangnya pujian itu sama sekali tidak membuat kegelisahan Chika berkurang. Malah membuatnya semakin bingung. “Kita mau ke mana?”tanya Chika.
            “Oh, tenang aja. Kita akan jalan-jalan ke tempat yang nggak mungkin dipikirkan Rafhael,” kata Karen.
            “Ke tempat yang... Kenapa? Lo menghindari Rafha?” tanya Chika bingung.
            Karen tertawa. “Oh, bukan, bukan, gue nggak menghindari dia. Tapi gue mau bikin anak itu menyadari kebodohannya. Anak itu sekali-sekali perlu dipukul biar dia sadar apa yang udah dia lewatkan,”kata Karen.
            “Sorry, tapi... gue masih nggak ngerti… Apa hubungannya sama gue?” tanya Chika.
            “Tentu aja ada hubungannya sama elo! Biar dia ngerasa panik sendiri karena nggak bisa menemukan elo!” kata Karen dan terkekeh geli.
            “Tapi...” Chika menunduk. “gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Dia... udah bilang kalau dia nggak mau dekat sama gue lagi. Gue nggak boleh peduli sama dia lagi…”
            “Astaga, anak itu bilang begitu sama elo??? Kelewatan!! Gue pikir dia udah bisa lebih baik dari itu!!” seru Karen.
            “Lo salah paham sama gue... Gue sama sekali nggak ada hubungan apapun dengan Rafha. Dia udah menegaskan hal itu,” kata Chika lemah.
            Karen menggeleng-geleng. Tampak sama sekali tidak setuju dengan hal itu. “Lo yang salah paham! Gue yakin Rafhael nggak serius dengan ucapannya. Dia cuma lagi bingung karena kehadiran gue. Dia menganggap dirinya dulu jatuh cinta sama gue. Tapi dia salah, dan dia tau itu. Makanya dia jadi nggak bisa berpikir jernih dan malah ngucapin hal-hal yang menyakitkan,” kata Karen yakin. “Gue harap lo nggak benci sama dia. Gue serius, gue mendukung elo. Rafhael butuh orang seperti elo untuk mengguncangkan kehidupannya dia yang arogan itu!”
            “Tapi dia suka sama elo...”
            “Nggak! Gue udah bicara sama dia dan kami udah meluruskan hubungan kami. Gue memang sayang sama dia, tapi cuma sebagai adik, nggak lebih! Yang dia butuhkan adalah orang yang tulus sayang dan menerima dia apa adanya. Dan orang itu adalah elo! Percaya sama gue, Chika. Gue tau sifat Rafhael. Dia sebenarnya juga sayang sama elo, tapi dia mencoba menyangkalnya aja!” kata Karen berapi-api. Tidak heran jika mobil terasa pengap, tapi alih-alih Chika malah menghembuskan napasnya.
            “Gue nggak tau harus gimana... Dia nggak mau ketemu gue lagi...”
            Karen tersenyum lebar. “Makanya gue nyulik elo kan? Kita buat dia kelimpungan nyari elo dan sadar betapa besar kesalahan yang dia buat!” kata Karen. “Tapi lo harus kerja sama dengan gue ya?” tambah Karen sambil mengedipkan sebelah mata. “Kita buat dia sadar!”
            Untuk pertama kalinya Chika bisa tersenyum hari itu. Dengan malu-malu ia mengangguk setuju. Kemudian bersin. Karen tertawa dan menyodorkan kotak tissue. Chika menerimanya dengan wajah memerah tersipu.
            Maka sepanjang hari itu dihabiskan kedua cewek itu dengan jalan-jalan di Mall, makan siang, kemudian Karen mengajak Chika ke tempat-tempat yang dulu pernah didatanginya bersama Rafhael. Karen juga menunjukkan sebuah rumah pohon yang tampak tak layak lagi yang ada di dekat SDnya yang sering dijadikan markas olehnya. Mereka menghabiskan waktu beberapa saat di sana. Karen mengenang saat-saat itu sebagai kenangan masa kecil yang manis dan bagaimana pendiamnya Rafhael waktu itu. Membuat Chika tidak percaya. Karena apa yang diceritakan Karen sama sekali tidak sesuai dengan Rafhael yang sekarang.
            “Makanya gue bilang dia banyak berubah kan?” kata Karen.
            “Tapi dia tetap Rafha,” Chika menimpali. Yang dibalas dengan senyum lebar oleh Karen.
            Karena Karen sudah menceritakan begitu banyak hal tentang Rafhael, Chika juga ingin memberikan balasan sebagai kenang-kenangan. Ia memperlihatkan foto yang diam-diam diambilnya saat ia memergoki Rafhael tertidur di bawah pohon.
            Karen memekik. “Ya ampuuuunnn...!! Lihat betapa imutnya dia!! Siapapun nggak akan percaya betapa pedas kata-kata yang bisa dikeluarkan anak itu!!”
            Chika tertawa melihat reaksi Karen. Diapun dulu tak kuasa menahan tawa saat mengambil foto itu.
            “Ini wajib dipublikasikan!!” kata Karen bersemangat.
            “Jangaaan!!!” seru Chika panik. “Dia nggak tau kalau gue punya foto ini!! Bisa-bisa gue dimakan sama dia kalau sampai foto ini tersebar… Apalagi kalau sampai Sammy atau Jemy, atau Linzie tau! Gue nggak bisa membayangkan gimana dia bakal jadi bulan-bulanan mereka!” kata Chika panik
            Karen tersenyum jahil. “Tapi lo tetap nyimpen foto ini meskipun resikonya begitu??” godanya.
            Chika langsung salah tingkah. “Ya... yah... gue pikir kalau cuma gue yang tau sih nggak apa-apa…” kilahnya.
            Karen cekikikan. “Lo memang manis ya? Rugi besar Rafhael sempat menolak elo,” kata Karen.
            “Karen,”  tegur Chika malu.
            Karen tertawa. “Ehh, pulang yuk! Udah sore nih,” kata Karen. Chika mengangguk dan mereka pun pulang.
                                                                        ***