Rafhael segera tancap gas. Untungnya ia bisa menemukan
Chika tengah berjalan menuju halte. Rafhael menghentikan motornya dengan
tiba-tiba tak jauh di belakang Chika dan mengejar cewek itu. Rafhael berhasil
menarik lengan Chika hingga cewek itu berhenti.
“Mau
ke mana lo?! Urusan kita belum selesai!!” kata Rafhael marah.
Chika
berbalik dengan kaget, lupa kalau masih menangis. Seketika Rafhael langsung
pucat pasi dan melepaskan cengkeramannya. Sebagai gantinya ia menangkup kedua
belah pipi Chika dengan kedua tangannya.
“Kenapa?
Ada yang sakit? Kenapa lo nangis???” tanyanya panik. Kemarahannya lenyap
seketika karena itu pertama kalinya ia melihat Chika menangis.
Chika
tampak bingung. Ia menatap Rafhael dengan aneh. “Ke... kenapa elo di sini?” tanyanya
sesenggukan.
“Ya,
gue ngejar elo,” kata Rafhael bingung
“Tapi…
kenapa lo ngejar gue?” tanya Chika lagi.
“Ya...
gue ngejar elo karena... karena elo pergi!” sahut Rafhael kehabisan jawaban.
Seketika ia melupakan apa tujuannya mengejar Chika.
Chika
mendengus. “Nggak masuk akal! gue udah gede, gue bisa pulang sendiri!” ketusnya
sambil menghapus air matanya. “Kenapa lo nggak balik aja ke tempat Karen dan
selesaikan apapun urusan kalian? Lo kan nggak punya kewajiban buat nganterin
gue pulang,” kata Chika sambil melanjutkan perjalanannya ke halte yang tinggal
beberapa puluh meter lagi.
Belum
ada selangkah Chika bergerak, kembali tangannya ditarik oleh Rafhael. Chika
menepiskan tangan Rafhael dan melangkah lagi. Tapi kembali dihalangi oleh
Rafhael.
“Mau
lo apa sih?” tanya Chika lelah. “Gue mau pulang, Rafha,” katanya lagi. “Lo yang
bilang supaya gue nggak ikut campur urusan elo. Lo juga kan yang nyuruh gue
menjauh. Sekarang ijinin gue pergi…”
“Gue
nggak ngijinin lo pergi!” kata Rafhael dengan arogannya.
“Kenapa?
Lo kan udah punya Karen... Dia cantik, baik, humoris,” kata Chika.
“Tapi
dia nggak telmi dan lemot! Dia nggak bikin gue terlibat dalam banyak hal-hal
konyol. Dan yang terpenting dia bukan elo,” kata Rafhael.
“Kenapa?”
tanya Chika lagi.
Rafhael
terdiam. Dia memejamkan matanya sejenak untuk mengumpulkan semua emosi dan juga
pikirannya. Dia tak diberi banyak waktu buat berpikir. Jadi Rafhael tidak mau
mengacaukan semua yang ia pikirkan masak-masak dan yang akan dia katakan pada
Chika. Kemudian Rafhael membuka mata dan menatap Chika.
“Karena
gue sayang, cinta, dan nggak mau kehilangan elo,” kata Rafhael.
Chika
kehilangan kata-kata. Meski Karen menyuruhnya untuk bersikap pasrah dan
pura-pura jual mahal agar Rafhael mengakui perasaannya, tapi mendengar nada
sungguh-sungguh dalam suara Rafhael, Chika langsung luluh. Seketika dia
langsung menangis lagi.
“Eehhh,
apa gue salah ngomong? Kok lo malah nangis sih?? Lo nggak suka kalau gue
ngomong gitu??” tanya Rafhael panik. Ia biasa menghadapi cewek yang berteriak
bahagia, marah-marah, bahkan ngambek, tapi ia paling tidak bisa jika menghadapi
cewek yang menangis!!
Chika
menggeleng-gelengkan kepalanya tapi tetap terisak-isak.
“Terus
kenapa?? Kok lo malah nangis?? Gue kan nyatain cinta sama elo,” kata Rafhael.
Ia bingung harus bagaimana. Pada akhirnya dia hanya memeluk Chika dan
membiarkan Chika menangis.
“Aduh,
Chi, lo jangan nagis donk... Gue jadi merasa jadi orang yang brengsek nih...
Gue tau gue banyak salah. Gue udah ngomong kasar sama elo. Gue udah sering
nyakitin elo baik sengaja atau nggak sengaja. Gue… gue minta maaf… Gue harap lo
mau maafin gue...” kata Rafhael sambil mengusap-usap punggung Chika.
“Gue…
gue juga sayang sama elo,” isak Chika lirih.
“Hah??”
sahut Rafhael takut salah dengar
Chika
mendongak dan menatap Rafhael. “Gue juga sayang sama elo... Tapi gue nggak tau
sejak kapan,” kata Chika.
“Gue
pikir sejak awal,” kata Rafhael. “Anak-anak pada bilang gitu,” tambahnya.
“Chika
nggak tau. Tapi pas lo nyuruh gue menjauh, gue sedih banget sampai gue ngerasa
sesak. Gue nggak tau kenapa lo marah. Apa waktu itu gue ada salah sama elo?” tanya
Chika dengan amat sangat polos. Membuat Rafhael bingung antara ingin
mencekiknya atau malah menciumnya. Tapi akhirnya tak ada yang ia lakukan selain
menatap Chika. Chika tidak menggodanya, cewek itu benar-benar ingin tau.
Rafhael pun memeluknya dan menopang dagunya di atas kepala Chika.
“Lo
nggak salah apa-apa. Semua salah gue yang terlalu bingung sama perasaan gue.
Sorry, Chi, gue udah bikin lo sakit hati,” kata Rafhael pelan.
Chika
menggeleng-geleng. “Elo nggak salah. Lo kan lagi bingung. Tapi…” kata Chika.
Rafhael
menarik diri dan menatap Chika. “Tapi apa?”
“Apa
sekarang lo udah nggak bingung lagi?”
Rafhael
terdiam sejenak, kemudian tersenyum. “Gue rasa gue udah nggak bingung.”
“Lo
rasa?” tanya Chika.
“Gue
yakin gue udah nggak bingung lagi,” ralat Rafhael.
Chika
balas tersenyum dan kembali menyurukkan wajah di dada Rafhael. Rafhael
menikmati saat-saat tenang itu. Akhirnya ada juga hal benar yang ia lakukan.
Dulu dia membiarkan Karen pergi. Tapi sekarang, ia takkan membiarkan Chika
pergi. Ia sudah memutuskannya.
“Rafha,
lo belum mandi ya?” tanya Chika sambil menarik diri dan mngernyit.
Rafhael
bengong sesaat dan mendengus. Astaga, haruskah Chika merusak moment indah
mereka secepat itu?
“Seharian
kan gue nyariin elo, Chi,” kata Rafhael gemas. Ia menangkup kedua pipi Chika dan
menatap Chika dalam-dalam. Kemudian dengan perlahan ia menundukkan wajahnya.
Tinggal beberapa senti lagi hingga ia bisa merasakan bibir Chika sebelum tangan
Chika mendorongnya. Ia hendak memprotes ketika tak ada sedetik kemudian Chika
bersin-bersin hebat.
“Astaga,
lo kena flu ya??” tanya Rafhael terperangah. Terlalu bingung mencari komentar
lain.
Tapi
Chika cuma bersin dan bersin lagi. Rafhael menghela napas. Apa boleh buat deh.
Memang belum nasibnya. Rafhael melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Chika.
“Ya
udah, pulang yuk,” ajak Rafhael.
Chika
mengangguk dan bersin lagi. “He’eh... Hattciihmm... Ayo, pulang... Chika mau...
hat... hattchimm... tidur...” kata Chika di sela-sela bersinnya.
Rafhael
memutar bola matanya dan menuntun Chika ke motornya. Ia membantu Chika naik,
kemudian terdiam sejenak untuk memperhatikan Chika. Hidung Chika memerah karena
bersin-bersin tadi. Matanya juga agak sembab karena menangis. Tapi di mata
Rafhael, Chika tetaplah Chika. Cewek yang membuatnya jatuh hati tanpa ia sadari.
Ia kemudian mencondongkan tubuhnya dan mengecup kening Chika.
“Moga
cepat sembuh, ya, Sweetheart,” kata
Rafhael lembut. Chika langsung tersipu-sipu. Rafhael kemudian mengantar Chika
pulang.
***
Karen
tengah menyesap secangkir teh hangat ketika ponselnya yang ia letakkan di atas
meja berdering. Ia mengangkatnya dengan santai.
“Ya,
Karen si Cupid di sini,” kata Karen.
Terdengar
suara dengusan geli. “Gue bukan mau dengar lelucon lo. Gimana?” tanya Jeremy.
Karen
menyeruput tehnya pelan sebelum menjawab. “Semua beres. Tinggal Rafhael aja
yang harus menyelesaikannya.”
“Yah,
berarti gue nggak sia-sia nonjok dia,” kata Jeremy.
“Oh,
jangan mulai memuji diri sendiri deh,” kata Karen. “Yang penting semua bahagia
kan,” katanya kemudian.
“Ya,”
sahut Jeremy.
Setelah
meletakkan ponselnya ke atas meja, Karen menatap langit malam yang sangat
indah. Bulan bersinar indah dan dikelilingi oleh banyak taburan bintang.
Bersyukur bisa menikmatinya dan berdoa semoga semua berjalan semestinya. Setiap
orang berhak merasa bahagia.
***
Cinta
bisa datang dan pergi sesuka hatinya. Tapi jangan sekali-sekali membiarkannya
menunggu terlalu lama. Kejarlah ia bila kau yakin dia memang untukmu karena ia
takkan mau menunggu lebih lama lagi...
~ SELESAI ~